Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika
kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu
dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus yang kemudian
menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu
kelompok atau kedua-duanya. Kebudayaan tersebut kemudian melebur menjadi satu
menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat
kebudayaan aslinya.
Adanya Interaksi antara masyarakat Buton dengan masyarakat
dengan bangsa lain mengakibatkan adanya kontak budaya atau akulturasi yang
menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru yang menjadi ciri Khas masyarakat
Buton. Akulturasi ini didukung oleh Budaya Buton yang sejak dulu terkenal
sebagai bangsa Bahari/pelaut .
Masuknya pengaruh Hindu dan Islam merupakan satu proses
tersendiri yang terpisah namun tetap didukung adanya proses Interaksi baik
dalam perdagangan maupun budaya masyarakat Buton sebagai bangsa Bahari.
Hal ini berarti kebudayaan Hindu dan Islam serta pengaruh bangsa lain yang
masuk ke Buton tidak diterima seperti apa adanya, tetapi diolah, ditelaah dan
disesuaikan dengan budaya yang dimiliki penduduk Buton, sehingga budaya
tersebut berpadu dengan kebudayaan asli Buton menjadi bentuk akulturasi kebudayaan
Buton.
Proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan
masyarakat Buton tanpa menghilangkan unsur-unsur asli, hal ini disebabkan
karena:
1.
Masyarakat Buton telah memiliki dasar-dasar
kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Buton
menambah perbendaharaan kebudayaan Buton.
2.
Kecakapan istimewa yang dimiliki masyarakat
Buton atau local genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk
menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan
kepribadian bangsa Buton.
Pengaruh kebudayaan hanya bersifat melengkapi kebudayaan
yang telah ada di Buton. Perpaduan budaya Hindu-Islam dan bangsa asing
melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi
tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan
kebudayaan Buton.
Akulturasi Bahasa
Masyarakat (Etnik Buton) memiliki beragam bahasa yang begitu
beragam. Hingga sekarang dapat ditemui lebih dari tiga puluhan bahasa dengan
berbagai macam dialek. Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari
adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang
dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Buton.
Penggunaan bahasa Sansekerta ditemukan pada Istilah penamaan di
peninggalan kerajaan Buton pada abad 13 M, contohnya Ungkapan Sangia.
Diduga sangia ini berasal dari Sanghyang (Sansekerta = Beliau yang disucikan).
Sangia (Buton) memiliki makna yang dimuliakan, keramat/suci. Makna ini melekat
pada seorang Sakti/Raja/Sultan di Buton atau menunjukan tempat/daerah yang
dianggap keramat atau suci. Misalnya Raja Buton V Rajamulae Sangia yi Gola
(menunjukan julukan Sultan) dan Sangia Galampa (menujukan suatu tempat).
Pengungkapan sangia ini sekarang sering digunakan oleh orang tua untuk menakuti
anak-anaknya untuk menunjuk tempat yang tidak boleh didatangi. Selain itu masih
adanya ucapan “katauna baramana” dari orang tua jika melihat anaknya melakukan
tindakan tidak sesuai dengan hukum dan ajaran Islam (“ajaran
Brahmana=sangsekerta (Dewa/suci/) yang menjurus terhadap ajaran Hindu”).
Dalam perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan
oleh bahasa Arab seiring masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada abad
ke-15 M, banyaknya penggunaan bahasa Arab pada kosakata bahasa Buton
menunjukkan tingginya pengaruh Islam dalam Kesultanan Buton. Seperti halnya
sembah (sangsekerta) menjadi Somba (Buton), Sembah Hyang (sangsekerta) menjadi
Sambahya (buton) yang bermaksna Sholat (arab) lalu menjadi Shola/Sholati
(buton). Makna Somba lalu menjadi hormat/tunduk. Tidak hanya itu, seiring masuknya
bangsa Eropa ke Buton pada abad ke-16, perkembangan bahasa juga nampak
terlihat pada istilah-istilah yang menyerap bahasa asing seperti ungkapan
Baluara (buton) yang berarti Bastion yang diserap dari kata Bel’wer
(bastion/gazebo), Kapita (buton) dari istilah Captein (belanda) atau panglima
perang. Disamping itu bahasa Buton juga menyerap unsur-unsur bahasa melayu.
Kepercayaan/Agama
Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Buton oleh bangsa
Majapahit pada abad ke-13 dan Islam yang dibawah pada abad 15, masyarakat Buton
mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang
(animisme dan dinamisme). Masuknya agama Hindu-Islam mendorong masyarakat Buton
mulai menganut agama Hindu-Islam walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli
seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Misalnya
masyarakat nelayan Wakatobi khusunya Tomia mengenal adanya Dewa laut Wa Ode
Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi lautan Banda yang
terkenal ganas. Disamping itu masyarakat Buton juga mengenal Dewa yang
melindungi keberadaan Hutan yang dikenal dengan nama Wa Kinam**** (tidak boleh
disebut namanya/hanya diucapkan dengan cara berbisik)
Agama Hindu dan Islam yang berkembang di Buton sudah
mengalami perpaduan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata
lain mengalami Sinkritisme yang merupakan bagian dari proses
akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu.
Seiring masuknya Islam di Buton, Budaya Hindu mulai bergeser menjadi budaya
yang Islami. Namun banyaknya ritual-ritual dan pesta Adat yang dilakukan
masyarakat Buton hingga sekarang bisa dipastikan mengandung unsur Sinkritisme.
Adapun ritual-ritual dan pesta adat tersebut antaralain yaitu:
-
Goraana Oputa/Maludju Wolio yaitu
ritual masyarakat Buton dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW yang
dilaksanakan tiap tengah malam tanggal 12 Rabiul awal
-
Qunua, yaitu ritual keagamaan yang
dilakukan masyarakat Buton pada 16 malam bulan Ramadhan.
-
Tuturiangana Andaala, yaitu
Ritual kesyukuran masyarakat Buton yang berada di Pulau Makasar (liwuto) kepada
Allah SWT, atas keluasan rejeki yang terhampar luas disektor kelautan
-
Maata’a, yaitu ritual adat yang
digelar masyarakat Buton etnik cia-cia di desa Laporo yeng merupakan wujud rasa
syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang diperoleh.
-
Pekande-kandea, yaitu pesta syukuran
masyarakat Buton kepada Allah SWT atas limpahan anugrah yang diberikan
-
Karia’a, yaitu pesta adat
masyarakat Buton yang berada di Kaledupa untuk menyambut anak-anak yang sedang
beranjak dewasa. Pesta Rakyat ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan
oleh pemangku adat, bersama orang tua kemudian memanjatkan doa bersama
anak-anak mereka yang bertujuan untuk membekali anak-anak mereka dengan
nilai-nilai moral dan spiritual.
-
Posuo (pingit), yaitu pesta adat
masyarakat Buton yang ditujukan pada kaum wanita yang memasuki usia remaja
sekaligus menyiapkan diri untuk berumah tangga.
-
Kabuenga, Haroa, Sambura’e dll
Masuknya Islam di Buton pada abad ke-15, yang di bawah oleh
Ulama dari Patani juga telah meletakkan dasar-dasar Ilmu Fikih kepada
Kesultanan dan masyarakat Buton. Ilmu Fikih merupakan ilmu Islam yang
mempelajari hukum dan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban umat terhadap
Allah dan sesama manusia sehingga masyarakat Buton dapat hidup sesuai dengan
kaidah Islam.
Pada Abad ke-16 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf
di Buton, yang dibawah oleh Sufi yang berasal dari Aceh. Tasawuf merupakan
ajaran pokok Islam tentang keesaan Tuhan, Ilmu teologi/Ilmu ketuhanan/ Ilmu
Tauhid. Tasawuf kemudian berkembang menjadi aliran kepercayaan yang berkembang
di masyarakat Buton. Namun meskipun begitu, terdapat perbedaan yang Khas
terhadap ajaran Tasawuf/tarikat yang berada di Patani/Aceh, misalnya masyarakat
Buton mempercayai adanya Reinkarnasi, hal ini tidak ditemukan pada ajaran
Tasawuf/tarikat yang berada di Aceh/Patani.
Sistem
Pemerintahan dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial
kemasyarakatan dapat dilihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan
yang berkembang di Buton setelah masuknya pengaruh Cina, melayu, dan Jawa di
Buton.
Dengan adanya pengaruh kebudayaan tersebut, maka sistem
pemerintahan yang berkembang di Buton yang semula cuma perkampungan adat
(limbo) atau berdasarkan kesukuan, kemudian berubah bentuk menjadi sebuah
Kerajaan yang diperintah oleh seorang Raja yang berlaku juga oleh turunannya.
Raja di Buton ada yang dipuja sebagai Dewa atau dianggap
keturunan Dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal
ini dapat dibuktikan dengan pemistisan Raja pertama (Wa Kaaka;1332! M) oleh
masyarakat Buton yang dipercaya lahir/hidup dalam Bambu. Tradisi asal usul
kemudian mengalami penyimpangan sesuai irama abad kehidupan masyarakat
Buton yang berada dalam peradaban Islam. Diungkapkan bahwa Putri Wa Kaaka
disebut Musaraffatul Izzati Al Fakhri berarti “Perempuan yang
dimuliakan atau diagungkan”. Ia menarik garis keturunan dari Nabi Muhammad.
Penarikan garis keturunan ini sekaligus mewarnai dan menandai segenap tata
pemerintahannya di Buton yang bernuansa Islami.
Ke Khas-an Budaya Buton bahwa Pemerintahan Raja dan Sultan
di Buton tidak bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di Cina, Jawa atau
kerajaan melayu lain, namun melalui prinsip pemilihan yang dilakukan oleh
Dewan/Sara yang menerapkan prinsip musyawarah.
Wujud akulturasi dalam sistem pemerintahan juga terlihat
dalam sistem kemasyarakatan, yaitu adanya pembagian lapisan masyarakat
berdasarkan sistem kasta/golongan.
Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta
Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya dan kasta Sudra. Kasta-kasta tersebut
juga berlaku atau dipercayai oleh masyarakat Buton tetapi tidak sama persis
dengan kasta-kasta yang ada di India/jawa/bali karena disana benar-benar
diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Buton tidak demikian,
karena di Buton kasta hanya diterapkan pada sistem pemerintahan dan ritual
keagamaan saja. Adapun penggolongan tersebut yaitu:
- Kaomu atau Kaumu (kaum
ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja/Sultan dipilih dari
golongan ini.
- Walaka, (elit penguasa) iaitu
keturunan menurut garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan
buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan penting di Kerajaan seperti
mentri dan juga dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang akan menjadi Raja/Sultan
berikutnya.
- Papara atau disebut masyarakat
biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka
dapat dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie,
tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.
- Babatua (budak), yaitu orang
yang hidupnya bergantung terhadap orang lain/memiliki utang. meraka dapat
diperjualbelikan atau dijadikan hadiah
- Analalaki dan Limbo, Yaitu
adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya
kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status
sosialnya.
Seni Budaya dan
pengetahuan
Masuknya Budaya Islam pada masyarakat Buton sangat mempengaruhi
kebudayaan Buton. Pengaruh bangsa bangsa lain dan Islam terhadap kesenian dan
Budaya Buton terlihat jelas pada bidang-bidang dibawah ini:
A. Seni
Bangunan
Seni bangunan tampak pada bangunan Benteng, tempat ibadah
(mesjid) dan Istana Kerajaan/Kesultanan. sebagai wujud percampuran antara seni
asli bangsa Buton dengan Islam dan eropa.
Benteng Keraton Buton yang dibangun oleh masyarakat Buton
pada abad Ke-16 M syarat dengan simbol Islam dan dibeberapa titik bergaya
Eropa. Benteng Keraton Buton berbentuk huruf “dal” yang merupakan huruf
terakhir dari kata Nabi Muhammad, disamping itu terdapat Benteng Sorawolio yang
berbentuk huruf “alif” yang merupakan huruf awal dari kata Allah. Dan banyak
lainnya. Gaya Eropa pada benteng Kesultanan Buton dapat ditemukan dengan adanya
beberapa Bastion pada benteng Kesultanan Buton yang mirip dengan Bidak benteng
pada permainan catur.
Mesjid dalam Kompleks Kesultanan Buton dalam pembangunannya
juga banyak memiliki simbol-simbol. Ini menandakan kuatnya ajaran tasawuf yang
dianut oleh masyarakat Buton yang penuh dengan makna-makna dan simbol tertentu,
misalnya jumlah tiang yang digunakan, jumlah pintu, dll. Namun pada Kuba Mesjid
agung Keraton Buton yang berbentuk limas menandakan adanya kemiripan dengan
mesjid-mesjid yang dibangun oleh masyarakat Jawa.
Makna dan Simbol Islam juga terdapat pada bentuk Istana
Kesultanan Buton. Istanah Buton dibuat bertingkat-tingkat sehingga dari depan
tampak seperti orang yang sedang Sholat pada posisi Takbirahtur Ihram. Uniknya,
ruangan depan dalam Istanah memiliki posisi lebih rendah di banding posisi
ruangan belakang yang disimbolkan seolah-olah dalam posisi bersujud. Pada
Istanah Juga terdapat Ukiran buah nenas dan Naga yang menjadi simbol Kesultanan
Buton, dimana Nenas dan Naga merupakan Akulturasi antara budaya Buton dan Cina.
B. Aksara
dan Seni Sastra
Untuk aksara, masyarakat Buton menggunakan Aksara Wolio
(Buri Wolio) yang merupakan perpaduan antara aksara Arab yang telah di ubah
sesuaikan dengan Bahasa Buton. Penggunaan aksara Wolio ini telah digunakan
sejak masuknya Islam di Buton dan mulai berganti dengan huruf latin pada awal
abad ke-20. Hal ini dapat dilihat manuskrip dan Warkah-warkah Kesultanan Buton
yang menggunakan Buri Wolio abad 16 sampai ke-19M. Aksara Wolio juga digunakan
pada naskah Undang-Undang Kesultanan Buton yang dibuat pada masa Sultan ke-4
Buton Laelangi atau Dayanu Iksanuddin abad ke-16 M yang bernafaskan ajaran
Tasawuf.
Pada Sastra, tampak pada karya-karya sastra Buton yang
bernilai tinggi. Karya sastra yang berkembang pesat pada abad ke-18/19 yaitu
berupa:
1.
Kabanti (Syair), yaitu karya sastra berupa syair
yang berisi ajaran-ajaran ahklak dan Budi pekerti serta nasehat-nasehat dan
juga sejarah.
Contoh : Kabanthi Kanturuna Mohelana (bahasa Wolio= Lampunya Orang
Berlayar), Kabanti Ajonga yinda Malusa (Kain yang tidak luntur), dll
2.
Hikayat, yaitu cerita rakyat yang sudah
ada sebelum masuknya Islam.
Contoh: Hikayat Sipanjonga
3.
Kisah sejarah yang terkadang memuat silsilah
para raja suatu kerajaan Islam
Contoh: Assajaru Huliqa
Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (sejarah berdirinya Kerajaan Buton dan
Muna)
C. Seni
Tari
Selain seni Sastra, masyarakat Buton juga banyak mengenal
seni Tari. Adapun seni Tari masyarakat Buton antara lain:
-
Tari Galangi, merupakan tari yang dilakukan oleh
pengawal Kesultanan Buton
- Tari Lariangi, merupakan tarian bagi masyarakat
Buton di Wakatobi, tarian ini digunakan untuk menyambut para tamu Kerajaan.
-
Tari Lumense, tari ini menampilkan sejumlah
simbol perilaku masyarakat Buton di Kabaena
-
Tari Merere, merupakan tari Tradisonal
masyarakat Buton yang berada di Kulisusu. Merere adalah pelaksanaan Prosesi
Adat untuk mengislamkan agar diberi pengetahuan ilmu keagamaan dengan diajarkan
mengucakan dua kalimat sahadat sebagai petanda menjadi penganut Islam yang
sejati.
-
Tari Honari Mosega, Tari Lulo Aru, Tari
Kalegoa dll.
Gambus merupakan alat musik tradisional asli khas Masyarakat
Buton. Alat musik yang dipetik seperti gitar tersebut biasa digunakan untuk
mengiringi tarian atau syair-syair kabanthi (syair Khas masyarakat Buton).
E. Filsafat
Perkembangan Ilmu filsafat di Buton telah tumbuh pada masyarakat Buton yang
kemudian berfungsi untuk mendukung pendalaman agama Hindu-Islam. Oleh
karena itu, dapat dipahami bahwa landasan penubuhannya adalah nilai-nilai dan
semangat yang mengacu pada “kesepakatan” dan “kebersamaan”. Prinsip dari
nilai-nilai itu terwujud dalam falsafah yang disebut Pobinci-binci kuli. Jika
prinsip “kesepakatan” membentuk nilai persatuan maka “kebersamaan” membentuk
nilai “tenggang rasa”. Hubungan antara penguasa dan rakyat secara vertikal dan
sesama rakyat secara horisontal dilandasi oleh kedua prinsip nilai tersebut.
Pobinci-binci kuli terurai dalam ungkapan di bawah ini:
-
Pomae-maeka (Saling menghormati)
-
Popita-piara (Saling menjaga/pelihara)
-
Poangka-angkataka (Saling mengangkat derajat)
Adapun prinsip yang tertuang dalam falsafah kesultanan dalam
arti politik, tertuang sebagai berikut:
-
Yinda Yindamo Arataa Somanamo Karo (Biarpun
harta habis asalkan jiwa raga selamat)
-
Yinda Yindamo Karo Somanamo Lipu (Biarpun jiwa
raga hancur asal negara selamat)
-
Yinda Yindamo Lipu Somanamo Sara (Biarpun negara
tiada asal pemerintah ada)
-
Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama (Biarpun
pemerintah tiada asal Agama dipertahankan)
F. Sistem
Kalender
Sistem penaggalan pada masyarakat Buton diadopsi dari sistem
kalender/penanggalan Arab (hijriah). Hal ini dapat dilihat pada warkah-warkah
dan manuskrip Kesultanan Buton yang pada pembuatannya menggunakan penanggalan
Hijriah. Namun ada yang unik terhadap penanggalan Buton, selain menggunakan
tahun Hijriah, ternyata masyarakat Buton juga menggunakan Hari Pasaran pada
beberapa naskah yang digunakan sebagai primbon atau buku ramalan. Tampaknya
penaggalan Jawa tidak sertamerta hilang setelah masuknya budaya Islam yang
begitu kental di Buton.
Peralatan Hidup, Ekonomi dan Teknologi
Masyarakat Buton dari sebelum masuknya agama Hindu-Islam
sebenarnya sudah memiliki budaya yang cukup tinggi. Dengan masuknya pengaruh
budaya Hindu-Islam di Buton semakin mempertinggi teknologi yang sudah dimiliki
bangsa Buton sebelumnya. Pengaruh Alkuturasi Budaya terhadap perkembangan
teknologi masyarakat Buton terlihat dalam bidang kemaritiman, perekonomian dan
pertanian/perkebunan.
a. Perkembangan kemaritiman terlihat dengan semakin
banyaknya kota-kota pelabuhan di Buton seperti Baubau, Pasarwajo, Waara, Wanci,
Ereke dll, juga berkembangnya ekspedisi pelayaran dan perdagangan antar negara.
Selain itu, masyarakat Buton yang awalnya baru dapat membuat sampan sebagai
alat transportasi kemudian mulai dapat membuat perahu bercadik dengan bobot
mencapai 500 ton.
b.
Masyarakat Buton juga mempunyai alat tukar
sendiri yang disebut dengan Kampua. Kampua atau mata uang Kerajaan Buton yang
terbuat dari hasil tenunan putri-putri raja/sultan tersebut adalah satu-satunya
mata uang yang masih beredar setelah Indonesia merdeka.
c.
Budaya tenun di Buton telah ada sejak berdirinya
Kerajaan Buton pada abad ke-14. Budaya menenun ini dilakukan oleh putri-putri
Raja atau bangsawan di Kerajaan Buton.
d. Sebagai masyarakat bahari, pada awal abad ke-20
komoditi utama yang menjadi andalan untuk di ekspor yaitu tripang, kulit penyu,
agar-agar, mutiara, dan sirip ikan hiu. Juga beberapa hasil perkebunan terutama
Kopi.
e. Pada awal abad ke-20, masyarakat buton telah
melakukan usaha pertambangan berupa aspal yang produksinya mencapai 20.000 ton
pada tahun 1938.
f. Dalam bidang pertanian, tampak dengan adanya
pengelolaan sistem irigasi yang baik mulai diperkenalkan dan berkembang, pola
bertani dan sistem pertanian pada masyarakat Buton dibawah oleh masyarakat
Bugis dan Toraja, walaupun demikian masyarakat Buton kurang memiliki perhatian
pada sistem pertanian.
Demikianlah Akulturasi Budaya masyarakat Buton yang begitu
modern dan terus mengikuti perkembangan zaman. Akulturasi tersebut membentuk
karakter dan ciri Khas dalam budaya dan perkembangan masyarakat Buton yang
bertahan hingga sekarang.
Sumber : UjungAngin