Pages

Dokumentasi Lensa Budaya Cia Cia

Menteri Kelautan dan Perikana RI, Sharif C. Sutardjo mendapat gelar Adat sebagai "WAOPU MEANTU'U YIMAWI".

Dokumentasi Lensa Budaya Cia Cia

Himpunan Mahasiswa Buton Cabang Samarinda dalam acara Musyawarah Cabang ke-III .

Dokumentasi Lensa Budaya Cia Cia

Acara Karnaval anak-anak TKK/RA di Larantuka (Flores Timur) menggunakan pakaian adat Buton .

Dokumentasi Lensa Budaya Cia Cia

Salah satu permainan tradisional yang dimainkan oleh anak-anak Suku Cia Cia bernama "Pebaguli".

Dokumentasi Lensa Budaya Cia Cia

Permainan anak-anak suku cia-cia zaman doeloe yang bernama Meriam Bambu.

Sabtu, 12 April 2014

Akulturasi Budaya Orang Buton


Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya. Kebudayaan tersebut kemudian melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya.
Adanya Interaksi antara masyarakat Buton dengan masyarakat dengan bangsa lain mengakibatkan adanya kontak budaya atau akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru yang menjadi ciri Khas masyarakat Buton. Akulturasi ini didukung oleh Budaya Buton yang sejak dulu terkenal sebagai bangsa Bahari/pelaut .
Masuknya pengaruh Hindu dan Islam merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap didukung adanya proses Interaksi baik dalam perdagangan maupun budaya masyarakat Buton sebagai bangsa Bahari.  Hal ini berarti kebudayaan Hindu dan Islam serta pengaruh bangsa lain yang masuk ke Buton tidak diterima seperti apa adanya, tetapi diolah, ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki penduduk Buton, sehingga budaya tersebut berpadu dengan kebudayaan asli Buton menjadi bentuk akulturasi kebudayaan Buton.
Proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Buton tanpa menghilangkan unsur-unsur asli, hal ini disebabkan karena:
1.        Masyarakat Buton telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Buton menambah perbendaharaan kebudayaan Buton.
2.        Kecakapan istimewa yang dimiliki masyarakat Buton atau local genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Buton.
Pengaruh kebudayaan hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Buton. Perpaduan budaya Hindu-Islam dan bangsa asing melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Buton.

Akulturasi Bahasa
Masyarakat (Etnik Buton) memiliki beragam bahasa yang begitu beragam. Hingga sekarang dapat ditemui lebih dari tiga puluhan bahasa dengan berbagai macam dialek. Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta  memperkaya  perbendaharaan bahasa Buton.   Penggunaan bahasa Sansekerta ditemukan pada Istilah penamaan di peninggalan kerajaan Buton  pada abad 13 M, contohnya Ungkapan Sangia. Diduga sangia ini berasal dari Sanghyang (Sansekerta = Beliau yang disucikan). Sangia (Buton) memiliki makna yang dimuliakan, keramat/suci. Makna ini melekat pada seorang Sakti/Raja/Sultan di Buton atau menunjukan tempat/daerah yang dianggap keramat atau suci. Misalnya Raja Buton V Rajamulae Sangia yi Gola  (menunjukan julukan Sultan) dan Sangia Galampa (menujukan suatu tempat). Pengungkapan sangia ini sekarang sering digunakan oleh orang tua untuk menakuti anak-anaknya untuk menunjuk tempat yang tidak boleh didatangi. Selain itu masih adanya ucapan “katauna baramana” dari orang tua jika melihat anaknya melakukan tindakan tidak sesuai dengan hukum dan ajaran Islam (“ajaran Brahmana=sangsekerta (Dewa/suci/) yang menjurus terhadap ajaran Hindu”).
Dalam perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Arab seiring masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada abad ke-15 M, banyaknya penggunaan bahasa Arab pada kosakata bahasa Buton menunjukkan tingginya pengaruh Islam dalam Kesultanan Buton. Seperti halnya sembah (sangsekerta) menjadi Somba (Buton), Sembah Hyang (sangsekerta) menjadi Sambahya (buton) yang bermaksna Sholat (arab) lalu menjadi Shola/Sholati (buton). Makna Somba lalu menjadi hormat/tunduk. Tidak hanya itu, seiring masuknya bangsa Eropa ke Buton pada abad ke-16, perkembangan  bahasa juga nampak terlihat pada istilah-istilah yang menyerap bahasa asing seperti ungkapan Baluara (buton) yang berarti Bastion yang diserap dari kata Bel’wer (bastion/gazebo), Kapita (buton) dari istilah Captein (belanda) atau panglima perang. Disamping itu bahasa Buton juga menyerap unsur-unsur bahasa melayu.

Kepercayaan/Agama
Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Buton oleh bangsa Majapahit pada abad ke-13 dan Islam yang dibawah pada abad 15, masyarakat Buton mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan dinamisme). Masuknya agama Hindu-Islam mendorong masyarakat Buton mulai menganut agama Hindu-Islam walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Misalnya masyarakat nelayan Wakatobi khusunya Tomia mengenal adanya Dewa laut Wa Ode Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi lautan Banda yang terkenal ganas. Disamping itu masyarakat Buton juga mengenal Dewa yang melindungi keberadaan Hutan yang dikenal dengan nama Wa Kinam**** (tidak boleh disebut namanya/hanya diucapkan dengan cara berbisik)
Agama Hindu dan Islam yang berkembang di Buton sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme yang merupakan bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Seiring masuknya Islam di Buton, Budaya Hindu mulai bergeser menjadi budaya yang Islami. Namun banyaknya ritual-ritual dan pesta Adat yang dilakukan masyarakat Buton hingga sekarang bisa dipastikan mengandung unsur Sinkritisme. Adapun ritual-ritual dan pesta adat tersebut antaralain yaitu:
-          Goraana Oputa/Maludju Wolio yaitu ritual masyarakat Buton dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan tiap tengah malam tanggal 12 Rabiul awal
-          Qunua, yaitu ritual keagamaan yang dilakukan masyarakat Buton pada 16 malam bulan Ramadhan.
-          Tuturiangana  Andaala, yaitu Ritual kesyukuran masyarakat Buton yang berada di Pulau Makasar (liwuto) kepada Allah SWT,  atas keluasan rejeki yang terhampar luas disektor kelautan
-          Maata’a, yaitu ritual adat yang digelar masyarakat Buton etnik cia-cia di desa Laporo yeng merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang diperoleh.
-          Pekande-kandea, yaitu pesta syukuran masyarakat Buton kepada Allah SWT atas limpahan anugrah yang diberikan
-          Kariaa, yaitu pesta adat masyarakat Buton yang berada di Kaledupa untuk menyambut anak-anak yang sedang beranjak dewasa. Pesta Rakyat ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan oleh pemangku adat, bersama orang tua kemudian memanjatkan doa bersama anak-anak mereka yang bertujuan untuk membekali anak-anak mereka dengan nilai-nilai moral dan spiritual.
-          Posuo (pingit), yaitu pesta adat masyarakat Buton yang ditujukan pada kaum wanita yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri untuk berumah tangga.
-          Kabuenga, Haroa, Sambura’e dll

Masuknya Islam di Buton pada abad ke-15, yang di bawah oleh Ulama dari Patani juga telah meletakkan dasar-dasar Ilmu Fikih kepada Kesultanan dan masyarakat Buton. Ilmu Fikih merupakan ilmu Islam yang mempelajari hukum dan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban umat terhadap Allah dan sesama manusia sehingga masyarakat Buton dapat hidup sesuai dengan kaidah Islam.
Pada Abad ke-16 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf di Buton, yang dibawah oleh Sufi yang berasal dari Aceh. Tasawuf merupakan ajaran pokok Islam tentang keesaan Tuhan, Ilmu teologi/Ilmu ketuhanan/ Ilmu Tauhid. Tasawuf kemudian berkembang menjadi aliran kepercayaan yang berkembang di masyarakat Buton. Namun meskipun begitu, terdapat perbedaan yang Khas terhadap ajaran Tasawuf/tarikat yang berada di Patani/Aceh, misalnya masyarakat Buton mempercayai adanya Reinkarnasi, hal ini tidak ditemukan pada ajaran Tasawuf/tarikat yang berada di Aceh/Patani.

Sistem Pemerintahan  dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Buton setelah masuknya pengaruh Cina, melayu, dan Jawa di Buton.
Dengan adanya pengaruh kebudayaan tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Buton yang semula cuma perkampungan adat (limbo) atau berdasarkan kesukuan, kemudian berubah bentuk menjadi sebuah Kerajaan yang diperintah oleh seorang Raja yang berlaku juga oleh turunannya.
Raja di Buton ada yang dipuja sebagai Dewa atau dianggap keturunan Dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan pemistisan Raja pertama (Wa Kaaka;1332! M) oleh masyarakat Buton yang dipercaya lahir/hidup dalam Bambu. Tradisi asal usul kemudian mengalami penyimpangan  sesuai irama abad kehidupan masyarakat Buton yang berada dalam peradaban Islam. Diungkapkan bahwa Putri Wa Kaaka disebut Musaraffatul Izzati Al Fakhri berarti “Perempuan yang dimuliakan atau diagungkan”. Ia menarik garis keturunan dari Nabi Muhammad. Penarikan garis keturunan ini sekaligus mewarnai dan menandai segenap tata pemerintahannya di Buton yang bernuansa Islami.
Ke Khas-an Budaya Buton bahwa Pemerintahan Raja dan Sultan di Buton tidak bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di Cina, Jawa atau kerajaan melayu lain, namun melalui prinsip pemilihan yang dilakukan oleh Dewan/Sara  yang menerapkan prinsip musyawarah.
Wujud akulturasi dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu adanya pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta/golongan.
Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya dan kasta Sudra. Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh masyarakat Buton tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India/jawa/bali karena disana benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Buton tidak demikian, karena di Buton kasta hanya diterapkan pada sistem pemerintahan dan ritual keagamaan saja. Adapun penggolongan tersebut yaitu:
-  Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja/Sultan dipilih dari golongan ini.
-   Walaka, (elit penguasa) iaitu keturunan menurut garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan  buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan penting di Kerajaan seperti mentri dan juga dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang akan menjadi Raja/Sultan berikutnya.
-   Papara atau disebut masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka dapat  dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.
-   Babatua (budak), yaitu orang yang hidupnya bergantung terhadap orang lain/memiliki utang. meraka dapat diperjualbelikan atau dijadikan hadiah
-   Analalaki dan Limbo, Yaitu adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya.

Seni Budaya dan pengetahuan
Masuknya Budaya Islam pada masyarakat Buton sangat mempengaruhi kebudayaan Buton. Pengaruh bangsa bangsa lain dan Islam terhadap kesenian dan Budaya Buton terlihat jelas pada bidang-bidang dibawah ini:
A.     Seni Bangunan
Seni bangunan tampak pada bangunan Benteng, tempat ibadah (mesjid) dan Istana Kerajaan/Kesultanan. sebagai wujud percampuran antara seni asli bangsa Buton dengan Islam dan eropa.
Benteng Keraton Buton yang dibangun oleh masyarakat Buton pada abad Ke-16 M syarat dengan simbol Islam dan dibeberapa titik bergaya Eropa. Benteng Keraton Buton berbentuk huruf “dal” yang merupakan huruf terakhir dari kata Nabi Muhammad, disamping itu terdapat Benteng Sorawolio yang berbentuk huruf “alif” yang merupakan huruf awal dari kata Allah. Dan banyak lainnya. Gaya Eropa pada benteng Kesultanan Buton dapat ditemukan dengan adanya beberapa Bastion pada benteng Kesultanan Buton yang mirip dengan Bidak benteng pada permainan catur.
Mesjid dalam Kompleks Kesultanan Buton dalam pembangunannya juga banyak memiliki simbol-simbol. Ini menandakan kuatnya ajaran tasawuf yang dianut oleh masyarakat Buton yang penuh dengan makna-makna dan simbol tertentu, misalnya jumlah tiang yang digunakan, jumlah pintu, dll. Namun pada Kuba Mesjid agung Keraton Buton yang berbentuk limas menandakan adanya kemiripan dengan mesjid-mesjid yang dibangun oleh masyarakat Jawa.
Makna dan Simbol Islam juga terdapat pada bentuk Istana Kesultanan Buton. Istanah Buton dibuat bertingkat-tingkat sehingga dari depan tampak seperti orang yang sedang Sholat pada posisi Takbirahtur Ihram. Uniknya, ruangan depan dalam Istanah memiliki posisi lebih rendah di banding posisi ruangan belakang yang disimbolkan seolah-olah dalam posisi bersujud. Pada Istanah Juga terdapat Ukiran buah nenas dan Naga yang menjadi simbol Kesultanan Buton, dimana Nenas dan Naga merupakan Akulturasi antara budaya Buton dan Cina.

B.     Aksara dan Seni Sastra
Untuk aksara, masyarakat Buton menggunakan Aksara Wolio (Buri Wolio) yang merupakan perpaduan antara aksara Arab yang telah di ubah sesuaikan dengan Bahasa Buton. Penggunaan aksara Wolio ini telah digunakan sejak masuknya Islam di Buton dan mulai berganti dengan huruf latin pada awal abad ke-20. Hal ini dapat dilihat manuskrip dan Warkah-warkah Kesultanan Buton yang menggunakan Buri Wolio abad 16 sampai ke-19M. Aksara Wolio juga digunakan pada naskah Undang-Undang Kesultanan Buton yang dibuat pada masa Sultan ke-4 Buton Laelangi atau Dayanu Iksanuddin abad ke-16 M yang bernafaskan ajaran Tasawuf.
Pada Sastra, tampak pada karya-karya sastra Buton yang bernilai tinggi. Karya sastra yang berkembang pesat pada abad ke-18/19 yaitu berupa:
1.      Kabanti (Syair), yaitu karya sastra berupa syair yang berisi ajaran-ajaran ahklak dan Budi pekerti serta nasehat-nasehat dan juga sejarah.
Contoh : Kabanthi Kanturuna Mohelana (bahasa Wolio= Lampunya Orang Berlayar), Kabanti Ajonga yinda Malusa (Kain yang tidak luntur), dll
2.      Hikayat, yaitu  cerita rakyat yang sudah ada sebelum masuknya Islam.
Contoh: Hikayat Sipanjonga
3.      Kisah sejarah yang terkadang memuat silsilah para raja suatu kerajaan Islam
Contoh: Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (sejarah berdirinya Kerajaan Buton dan Muna)

C.   Seni Tari
Selain seni Sastra, masyarakat Buton juga banyak mengenal seni Tari. Adapun seni Tari masyarakat Buton antara lain:
-          Tari Galangi, merupakan tari yang dilakukan oleh pengawal Kesultanan Buton
-     Tari Lariangi, merupakan tarian bagi masyarakat Buton di Wakatobi, tarian ini digunakan untuk menyambut para tamu Kerajaan.
-          Tari Lumense, tari ini menampilkan sejumlah simbol perilaku masyarakat Buton di Kabaena
-          Tari Merere, merupakan tari Tradisonal masyarakat Buton yang berada di Kulisusu. Merere adalah pelaksanaan Prosesi Adat untuk mengislamkan agar diberi pengetahuan ilmu keagamaan dengan diajarkan mengucakan dua kalimat sahadat sebagai petanda menjadi penganut Islam yang sejati.
-          Tari Honari Mosega,  Tari Lulo Aru, Tari Kalegoa dll.


 D.     Seni Musik
Gambus merupakan alat musik tradisional asli khas Masyarakat Buton. Alat musik yang dipetik seperti gitar tersebut biasa digunakan untuk mengiringi tarian atau syair-syair kabanthi (syair Khas masyarakat Buton).

E.    Filsafat
Perkembangan Ilmu filsafat di Buton telah tumbuh pada masyarakat Buton yang kemudian berfungsi untuk mendukung pendalaman agama Hindu-Islam. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa landasan penubuhannya adalah nilai-nilai dan semangat yang mengacu pada “kesepakatan” dan “kebersamaan”. Prinsip dari nilai-nilai itu terwujud dalam falsafah yang disebut Pobinci-binci kuli. Jika prinsip “kesepakatan” membentuk nilai persatuan maka “kebersamaan” membentuk nilai “tenggang rasa”. Hubungan antara penguasa dan rakyat secara vertikal dan sesama rakyat secara horisontal dilandasi oleh kedua prinsip nilai tersebut. Pobinci-binci kuli terurai dalam ungkapan di bawah ini:

-          Pomae-maeka (Saling menghormati)
-          Pame-maasiaka (Saling menyayangi)
-          Popita-piara (Saling menjaga/pelihara)
-          Poangka-angkataka (Saling mengangkat derajat)

Adapun prinsip yang tertuang dalam falsafah kesultanan dalam arti politik, tertuang sebagai berikut:
-          Yinda Yindamo Arataa Somanamo Karo (Biarpun harta habis asalkan jiwa raga selamat)
-          Yinda Yindamo Karo Somanamo Lipu (Biarpun jiwa raga hancur asal negara selamat)
-          Yinda Yindamo Lipu Somanamo Sara (Biarpun negara tiada asal pemerintah ada)
-          Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama (Biarpun pemerintah tiada asal Agama dipertahankan)

F.    Sistem Kalender
Sistem penaggalan pada masyarakat Buton diadopsi dari sistem kalender/penanggalan Arab (hijriah). Hal ini dapat dilihat pada warkah-warkah dan manuskrip Kesultanan Buton yang pada pembuatannya menggunakan penanggalan Hijriah. Namun ada yang unik terhadap penanggalan Buton, selain menggunakan tahun Hijriah, ternyata masyarakat Buton juga menggunakan Hari Pasaran pada beberapa naskah yang digunakan sebagai primbon atau buku ramalan. Tampaknya penaggalan Jawa tidak sertamerta hilang setelah masuknya budaya Islam yang begitu kental di Buton.


Peralatan Hidup, Ekonomi dan Teknologi


Masyarakat Buton dari sebelum masuknya agama Hindu-Islam sebenarnya sudah memiliki budaya yang cukup tinggi. Dengan masuknya pengaruh budaya Hindu-Islam di Buton semakin mempertinggi teknologi yang sudah dimiliki bangsa Buton sebelumnya. Pengaruh Alkuturasi Budaya terhadap perkembangan teknologi masyarakat Buton terlihat dalam bidang kemaritiman, perekonomian dan pertanian/perkebunan.
a.     Perkembangan kemaritiman terlihat dengan semakin banyaknya kota-kota pelabuhan di Buton seperti Baubau, Pasarwajo, Waara, Wanci, Ereke dll, juga berkembangnya ekspedisi pelayaran dan perdagangan antar negara. Selain itu, masyarakat Buton yang awalnya baru dapat membuat sampan sebagai alat transportasi kemudian mulai dapat membuat perahu bercadik dengan bobot mencapai 500 ton.
b.      Masyarakat Buton juga mempunyai alat tukar sendiri yang disebut dengan Kampua. Kampua atau mata uang Kerajaan Buton yang terbuat dari hasil tenunan putri-putri raja/sultan tersebut adalah satu-satunya mata uang yang masih beredar setelah Indonesia merdeka.
c.      Budaya tenun di Buton telah ada sejak berdirinya Kerajaan Buton pada abad ke-14. Budaya menenun ini dilakukan oleh putri-putri Raja atau bangsawan di Kerajaan Buton.
d.    Sebagai masyarakat bahari, pada awal abad ke-20 komoditi utama yang menjadi andalan untuk di ekspor yaitu tripang, kulit penyu, agar-agar, mutiara, dan sirip ikan hiu. Juga beberapa hasil perkebunan terutama Kopi.
e.    Pada awal abad ke-20, masyarakat buton telah melakukan usaha pertambangan berupa aspal yang produksinya mencapai 20.000 ton pada tahun 1938.
f.        Dalam bidang pertanian, tampak dengan adanya pengelolaan sistem irigasi yang baik mulai diperkenalkan dan berkembang, pola bertani dan sistem pertanian pada masyarakat Buton dibawah oleh masyarakat Bugis dan Toraja, walaupun demikian masyarakat Buton kurang memiliki perhatian pada sistem pertanian.

Demikianlah Akulturasi Budaya masyarakat Buton yang begitu modern dan terus mengikuti perkembangan zaman. Akulturasi tersebut membentuk karakter dan ciri Khas dalam budaya dan perkembangan masyarakat Buton yang bertahan hingga sekarang.

Sumber : UjungAngin

Fenomena Lubang Ghaib Tembus Baitullah di Pulau Buton


Laode Muhammad Ahmadi, dalam Buku Tambaga/Perak berjudul "Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat", mengatakan bahwa dua puluh tahun sebelum wafatnya Nabi Muhammad SAW kira-kira tahun 624 Masehi, ketika beliau berada di Madinah dan berkumpul dengan para sahabat dan terdengarlah dua kali demtuman bunyi begitu keras, ketika itu pula Rasulullah Muhammad SAW  mengutus Abdul Gafur dan Abdul Syukur yang keduanya merupakan kerabat dekat Nabi Besar Muhammad SAW  untuk mencari pulau Buton (Al-Bathniy), diapun melanglang buana mencarinya hingga menelan lamanya waktu pencarian hingga 60 tahun yakni sampai tahun 684 Masehi di kawasan Asia Tenggara. Nanti kemudian setelah melewati selat pulau Buton sesudah waktu shalat Magrib barulah dia mendengar suara azan persis sama dengan suara azan yang dikumandankan di Masjidil Haram Mekkah sewaktu tiba shalat zhuhur, maka diapun turun dari kapalnya lalu mencari sumber suara azan tersebut. 
Ternyata suara azan tersebut adalah dikumandankan oleh Husein yang tak lain ialah kerabat dekatnya sendiri yang dilihatnya muncul dari sebuah lubang ghaib berbentuk kelamin perempuan terdapat di atas bukit. Lubang ghaib ini tembus ke Ka'bah Baitullah Mekkah. Didepan lubang ghaib inilah Abdul Gafur meneteskan air matanya merenungkan kebesaran Allah SWT, seraya mengingat kembali pesan Rasulullah Muhammad SAW sebelum tinggalkan Madinah, bahwa isyarat tanda inilah telah menunjukkan disitulah terdapat pulau Al-Bathniy yang dicarinya.
Didepan lubang ghaib inilah Abdul Gafur bisa melihat secara kasat mata semua yang terjadi di Masjidil Haram Mekkah, termasuk juga orang yang sedang melakukan azan ketika itu dan diapun mengenal orang tersebut yang tak lain adalah sanak keluarganya sendiri bernama Zubair.
Pada Zaman Kerajaan Wa Kaa Kaa atau nama aslinya Mussarafatul Izzati Al fakhriy yang terjadi pada Abad XIII yang pusat Kerajaannya di bukit dekat lubang ghaib tersebut. Pusat lubang ghaib itu berada di wilayah pusat Kerajaan Wa Ka kaa (sekarang Keraton Buton)  disucikan dan dipeliharan dengan baik yang kemudian dijadiakan tempat sakral untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk ghaib atas kehendak Allah SWT.
Ketika berselang masuknya ajaran Islam di pulau Buton pada Abad XV yang dibawah oleh Sjech Abdul Wahid, maka pemerintahan sistem Kerajaan sudah berubah menjadi pemerintahan sistem Kesultanan dengan sultan pertama Buton bernama Murhum. Maka ketika itu dibangunlah mesjid Keraton Buton yang mana pusat lubang ghaib tersebut diletakkan di tengah-tengah dalam ruang mihrab Imam Mesjid Keraton Buton tempat Imam mesjid memimpin shalat. 
Sang Imam mesjid Keratonpun pada zamannya ketika memimpin shalat lima waktu bisa secara ghaib melihat kejadian di Masjidil Haram Mekkah seolah-olah dia sedang berada memimpin shalat disana, sehingga menambah makin khusu'nya sang Imam tersebut dalam memimpin shalat berjamaah di Mesjid Keraton Buton. Bukan itu saja, Sultan Buton dan para Sara pemerintahan Sultan Buton apabila ada keperluan dalam kepemerintahannya serta mau melihat keadaan perkembangan bangsa-bangsa di dunia atau apa saja, maka dapat mengunjungi lubang ghaib tersebut yang selanjutnya di lubang ghaib tersebut akan muncul keajaiban atas kehendak Allah SWT guna mengatasi segala permasalahan yang ada. 
Sejak akhir tahun 1970-an, lubang ghaib yang terdapat di mihrab Imam Mesjid Keraton itu telah ditutup rapat dengan semen.  Hal ini dilakukan oleh para tokoh adat Keraton mengingat masyarakat umum sudah banyak yang menyalahgunakan lubang ghaib ini yang dikuatirkan bisa menduakan Tuhan YME atau murtad. Selain itu juga sebelum ditutupnya lubang ghaib tersebut terjadi kejadian histeris seorang mahasiswa yang berkunjung ke lubang ghaib ini karena disini dia melihat kedua orang tuanya yang sudah meninggal yang disayanginya. Dalam mihrab Imam mesjid Keraton tersebut dibagian atas dari letak lubang ghaib tersebut terdapat dua gundukan mirip buah dada perempuan gadis. Kedua gundukan tersebut ketika Imam mesjid Keraton Buton melakukan sijud shalat, maka ketika sujud dia memegang kedua gundukan mirip buah dada perempuan itu, sedang lubang ghaib berada dibagian bawa pusarnya atau berada disekitar arah kelamin sang Imam tersebut. 
Lain halnya lubang ghaib yang terdapat di pulau Wangi-Wangi di bagian timur pulau Buton, tepatnya di desa Liya Togo letaknya 30 meter dibelakang mesjid Keraton Liya. Pada zamannya lubang ghaib ini juga dipelihara oleh Raja atau Sara Liya mengingat banyaknya keajaiban yang dapat dilihat dilubang ghaib tersebut.

Lubang ghaib yang tembus ke Ka'bah Mekkah yang terdapat di Liya Togo ini sengaja tidak diletakkan di dalam mesjid Keraton Liya sebagaimana yang terdapat di mihrab mesjid Keraton Buton sebab tidak boleh dilakukan sama. Sultan Buton apabila mengunjungi Keraton Liya setelah melakukan shalat di mesjid Keraton Liya, selanjutnya sang Sultan langsung mengunjungi lubang ghaib tersebut lalu memohon kepada Allah SWT untuk dapat melihat seluruh keadaan dan kejadian pemerintahannya sehingga dia dapat melihat secara ghaib untuk menjadi kewaspadaan Sultan. 
Kedua lubang ghaib tersebut saat ini secara spritual sudah tidak terpelihara lagi sehingga kini tinggal kenangan saja. Hanya dengan penegakan kembali sistem peradaban hakiki Islam dan penegakan Sara Agama pada masing-masing wilayah barulah mungkin rahasia lubang ghaib itu bisa berfungsi kembali atas izin Allah SWT. 
Diperkirakan lubang ghaib serupa ini juga terdapat satu buah di Serambih Aceh Sumatera Utara pintu masuk pertamanya Islam di Indonesia. Sehingga di Indonesia terdapat 3 buah lubang ghaib yang dibentuk oleh alam atas kehendak sang halik. Berdasarkan petunjuk spritual di dunia ini terdapat 5 buah lubang ghaib tembus ke Ka'bah Baitullah Mekkah, 2 di antaranya terdapat di dataran Cina dan dataran Eropah Barat.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguak kisah ini secara ilmiah oleh para ilmuwan dunia sehingga dapat ditarik manfaatnya untuk perbaikan kualitas hidup dan kehidupan manusia dalam penegakan Iman dan Keyakinan kepada Tuhan YME serta pembenaran perkembangan kemajuan peradaban manusia di muka bumi ini.

Sumber : Bumi Buton


Minggu, 28 Juli 2013

Pesta Adat Maata'a Suku Cia Cia


Maata'a merupakan pesta adat masyarakat suku cia cia Laporo. Pesta ini merupakan bentuk rasa terima kasih karena berhasil dalam masa panen. Pesta adat ini biasanya di gelar menjelang masa tanam berikutnya.
Beberapa kelompok sosial masyarakat yang berada di Buton khususunya kelompok adat suku Cia Cia Laporo masih melestarikan budaya ini, misalnya yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Kelurahan Bugi dan Kelurahan Karya Baru yang berada di Kecamatan Sorawolio, Kodya Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kegiatan ini biasa diselenggarakan pada tempat berkumpulnya masyarakat dan tokoh adat di desa itu yang biasa disebut "Baruga" (Balai Rumah Tangga). Acara tersebut bukan hanya dihadiri oleh para tokoh adat dan masyarakat setempat, tetapi juga dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat seperti dari unsur pemerintah setempat bahkan dari wisatawan mancanegara. 
Tujuan utama dari pelaksanaan acara "Maata'a diatas adalah berbagi kebahagian antar sesama dan merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan (Allah SWT) atas anugerah-Nya berupa hasil panen yang diperoleh oleh petani.
Bersambung.........

Selasa, 10 Januari 2012

Bahasa Cia Cia Dengan Huruf Hangeul


Sebuah pemandangan yang unik di permukiman Suku Cia-cia tepatnya di Kelurahan Karya Baru dan Kelurahan Bugi di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Banyak papan nama, petunjuk jalan, bahkan rambu lalu lintas ditulis menggunakan huruf Korea. Tak heran jika kawasan mayoritas muslim di pulau Buton itu dijuluki “Kampung Korea”.
Mengapa huruf Korea populer di sana?
Zaman dahulu Suku Cia-cia tak memiliki huruf. Berbeda dari suku Jawa yang memiliki huruf Jawa, suku ini tak memiliki huruf asli.
Menurut profesor dari Seol National University Lee Ho-Young, Suku Cia-cia sebenarnya bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia. Namun suku tersebut buta huruf sehingga tidak bisa menulis. (DetikNews.com, 07 Agustus 2009)


Masalahnya bahasa yang digunakan suku ini agak susah jika ditulis menggunakan huruf latin (abjad). Justru lebih pas kalau dieja menggunakan huruf Hangeul Korea. Karena itulah mereka kemudian menggunakan huruf Korea tersebut.
Sejak tahun 2005, pemerintah setempat menjalin kerja sama dengan Korea Selatan. Dua tahun kemudian, Pemerintah Kota Bau-Bau bekerja sama dengan lembaga riset bahasa Korea menyusun buku bahasa Cia-cia dengan huruf Korea. Tahun 2009 penggunaan huruf Hangeul Korea untuk Bahasa Cia Cia secara resmi dilaunching. Huruf Korea kemudian diajarkan di semua jenjang sekolah, mulai dari SD hingga SMA dalam pelajaran muatan lokal (mulok).
Wah, apa tidak bertentangan dengan Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada 28 Oktober 1928 ya? Kamu masih ingat kan isi Sumpah Pemuda? Salah satunya, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Lalu mengapa Pemerintah Bau-Bau justru mengajari warganya bahasa Korea? Ternyata, yang dipelajari dan digunakan cuma hurufnya. Bahasa yang digunakan tetap bahasa Indonesia. Jadi walau ditulis menggunakan huruf Korea, bacaannya tetap bahasa Indonesia dalam hal Bahasa Cia Cia

Sejak digunakannya huruf Hangeul untuk Bahasa Cia Cia, berbagai media massa ramai menuliskan berita terkait hal itu. Beberapa berita dan artikel terkait dapat dibaca dibawah ini :




Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More